Kehamilan dan Persalinan Pertamaku
Pertama kalinya aku merasakan pengalaman
hamil setelah pernikahanku dengan suami berjalan sekitar 4 tahun lamanya.
Memang kami berdua belum siap andaikata Tuhan berkehendak untuk menganugerahi
anak kepada kami segera setelah kami menikah. Perasaan itu disampaikan secara
eksplisit oleh suamiku, sementara aku hanya memendam rasa yang sama. Aku tak
berani mengakui secara terbuka karena tak ingin mendahului kehendak-Nya. Aku
meyakini betul bahwa Tuhan Maha Tahu kapan waktu yang terbaik bagi kami untuk
bisa dipercaya dengan seorang anak manusia. Suamiku merasa belum mampu secara
finansial untuk membesarkan seorang anak pada awal pernikahan kami karena
memang pekerjaannya pun belum benar-benar mapan bahkan hingga sekitar dua tahun
kemudian. Itulah yang meyakinkan dirinya bahwa kami belum pantas untuk menjadi
orangtua. Sedangkan alasanku lebih pada ketidaksiapan secara mental untuk
mengarungi perjalanan sebagai seorang ibu. Hal yang paling menakutkan bagiku
adalah membayangkan betapa sulitnya proses melahirkan seorang bayi. Entah
dengan cara normal ataupun melalui operasi, semuanya beresiko tinggi yang mana
belum sanggup kutanggung saat itu.
Hingga usia pernikahan kami memasuki tahun
kedua dan belum ada tanda-tanda aku mengandung, ibu mertuaku rupanya mulai
khawatir. Aku memang memiliki riwayat menstruasi yang tidak teratur sejak
sebelum menikah yang jadi membaik setelah aku menikah. Suatu ketika, periode
menstruasiku kembali tidak teratur, terlambat sekitar satu bulan. Karena
terbiasa mengalami hal semacam itu, aku tidak cemas sama sekali. Kakak iparku
yang sedang mengandung anak keduanya mengajakku untuk menemaninya kontrol ke
dokter kandungan langganannya. Saat namanya dipanggil masuk oleh perawat, dia
mengajakku serta ke dalam ruang praktik dokter. Aku menurut saja karena kupikir
dia butuh ditemani. Ternyata setelah usai gilirannya, dia menyampaikan kepada
dokter tersebut mengenai keadaanku yang terlambat menstruasi. Langsung saja aku
diperintah oleh pak dokter untuk duduk di kursi pasien dan diperiksa olehnya
kondisi rahimku. Aku masih belum mengerti sampai kemudian sang dokter
menyampaikan padaku bahwa kondisi rahimku normal dan mungkin untuk berikutnya,
suamiku perlu ikut diperiksa juga. Ternyata…kakak iparku sedang menjalankan
“misi rahasia” pesanan ibu mertuaku…hehehehe..
Tentu saja pesan dokter kandungan itu tak
kami turuti karena kami memang belum merasa ada masalah dengan kondisi kami
yang belum juga memiliki momongan. Kadangkala terbersit sedikit keinginan dalam
hati untuk bisa merasakan hamil dan juga muncul sedikit pertanyaan dalam hati
mengapa aku tidak mudah hamil seperti adik iparku yang langsung hamil tidak
sampai sebulan setelah menikah. Tapi biasanya cepat-cepat kutepis perasaan
semacam itu karena aku ingin berbaik sangka kepada Tuhan. Ia Maha Tahu apa-apa
saja yang terbaik bagi aku dan suami. Lagipula, hingga dua tahun setelah
pernikahan, kami belum benar-benar menetap di tempat tinggal yang kami diami
sendiri. Kami tinggal di kota Cepu selama sekitar 7 bulan pada awal pernikahan.
Kemudian, kami juga sempat “bertukar” orangtua karena tuntutan keadaan. Suamiku
yang sedang menjalani pekerjaan baru di kota Jakarta tinggal di rumah
orangtuaku, sebaliknya aku yang sudah terlanjur bekerja di kota Surabaya
tinggal di rumah mertuaku. Meskipun kondisi itu kami jalani hanya selama
beberapa bulan saja, namun bisa dikatakan keadaan kami memang belum mapan.
Tuhan Maha Tahu bahwa kami berdua tak hendak menambah beban orangtua dengan
memiliki anak ketika kami berdua masih belum mampu memenuhi kebutuhan kami
sendiri. Itulah mengapa aku dan suami sama sekali tak bersusah hati meski belum
dikaruniai momongan saat itu. Sungguhpun demikian, kami tidak berusaha
mencegahnya dengan mengonsumsi pil KB misalnya. Banyak cerita mengenai pasangan
yang menunda kehamilan pada awal pernikahan dan mengalami kesulitan ketika
memutuskan untuk memiliki momongan. Aku tak ingin itu terjadi pada kami,
sehingga kami pasrahkan saja apapun yang terjadi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Keyakinan kami itu terbukti ketika pada
akhirnya aku hamil. Setelah kami memutuskan untuk mengontrak rumah dan kami
berdua mulai mendapat pekerjaan yang dapat menjamin kebutuhan hidup
berkeluarga, beberapa bulan kemudian aku hamil. Reaksi suamiku tidak sebahagia
seperti yang kuharapkan, karena dia merasa masih belum cukup mapan, namun aku
yakin di dalam hatinya merasa lega karena sudah berhasil menghamiliku.. :)
Kehamilanku itu sungguh
mengesankan. Pengalaman hamil untuk pertama kalinya tanpa keluhan yang berarti.
Tidak kurasakan mual yang berlebihan atau kesulitan makan karena selalu
dimuntahkan kembali seperti banyak dialami teman-temanku. Hanya ada sedikit rasa
pening di kepala yang masih bisa kutoleransi. Kemudahan tersebut tentunya
membantuku untuk tetap dapat produktif di tempat kerja. Kebetulan pula, dokter
kandungan yang kuinginkan adalah yang berjenis kelamin wanita. Itupun terpenuhi
karena dapat kutemukan di rumah sakit dekat tempat kerjaku. Seringkali suamiku
tidak dapat menemaniku kontrol ke dokter kandungan sepulang kerja mengingat jam
kerjanya sebagai instruktur bahasa Inggris bertabrakan dengan jam konsultasi
yang kupilih. Dengan memilih dokter langganan yang mudah dijangkau olehku
sendiri, maka hal itu tidak menjadi masalah bagiku.
Aku pun tak ingin memanfaatkan kehamilanku
untuk menjadi manja. Kebetulan pula aku tidak merasakan ngidam, menginginkan
makanan tertentu yang sulit dicari. Tidak pula kualami sensitifitas yang tinggi
terhadap bau-bauan tertentu yang membuat mual. Hanya ada satu saja yang kurasa
aneh yaitu aku tak bisa menyentuh bakso yang biasanya kugemari. Makanan itu
mulai bisa kunikmati setelah kehamilanku menginjak usia 5 bulan. Makin lama
kehamilan itu semakin kunikmati, apalagi setelah janinku terus bertumbuh dan
gerakannya semakin banyak. Naluri keibuanku pun berkembang secara alamiah.
Suamiku pun kian tumbuh rasa sayangnya terhadap calon anak kami. Sempitnya
rumah kontrakan kami tak terasa sama sekali saking membuncahnya kebahagiaan
kami karena sudah mulai bisa menata keluarga kecil kami.
Gambaranku tentang proses melahirkan yang
menakutkan semakin lama semakin mencemaskanku. Aku tak tahu apakah diriku
sanggup menghadapi sakitnya proses melahirkan normal, namun melahirkan melalui
operasi pun tak terbayangkan. Ada sedikit harapan supaya aku bisa melahirkan
dengan normal dan minim rasa sakit seperti yang pernah dialami oleh mantan ibu
kosku semasa tinggal di Cepu dengan suami. Beliau menceritakan betapa mudah
proses melahirkan keenam anaknya yang rata-rata hanya berlangsung sekitar
setengah jam saja dan hanya diawali dengan rasa mulas di perut. Aku coba
membayangkan dan amat mengharapkan proses seperti itulah yang nantinya akan
kualami karena Tuhan Maha Tahu, aku tak akan kuat menghadapi proses persalinan
yang terlalu lama dan melelahkan.
Untuk
membantu kelancaran proses persalinan normal yang kami berdua harapkan, suamiku
rajin menemaniku senam hamil dengan bantuan kaset vcd yang dia pilihkan
untukku. Aku pun membiasakan banyak bergerak saat di kantor untuk tujuan itu
pula. Menurut perkiraan dokter kandunganku, jabang bayi kami akan lahir sekitar
tanggal 16 Agustus 2008. Cuti melahirkan kurencanakan mendekati tanggal
perkiraan dokter kandunganku itu. Pada kenyataannya, rencanaku berbeda dengan
kehendak Tuhan. Ternyata bayi mungil kami lahir ke dunia lebih cepat
sebulan dari perkiraan dokter. Dan itu terjadi tepat seminggu setelah aku
menjalani USG empat dimensi pada usia kehamilan sekitar 32-33 minggu karena
ingin melihat lebih jelas keadaan janinku, termasuk jenis kelaminnya adalah
lelaki yang baru bisa diketahui dari prosedur itu.
Proses persalinanku diawali dengan pecahnya
air ketubanku pada sekitar pukul 23.30 tanggal 3 Juli 2008. Pada mulanya aku
merasakan keinginan kuat untuk buang air kecil dalam tidurku hingga membuatku
terbangun. Perlahan kucoba duduk sebelum turun dari tempat tidur. Belum sampai
duduk sempurna, kurasakan semburan keras cairan dari kemaluanku. Sempat
terpikir kalau aku mengompol dan kucoba menahannya seperti halnya saat kita
menahan keluarnya air kencing. Ternyata usahaku itu tak berhasil juga sehingga
kemudian aku jadi berpikir bahwa itu adalah air ketubanku. Memang malam itu
tubuhku lelah sekali sepulang kerja dan masih “dipaksa” suamiku untuk melakukan
yoga dengan bantuan vcd seperti biasanya. Gawat! Cepat-cepat kubangunkan
suamiku dari tidur nyenyaknya. Padahal dia baru tertidur sekitar setengah
jam sebelumnya. Dia terbangun dengan kaget dan kebingungan setelah kukatakan
padanya bahwa kemungkinan air ketubanku pecah. Kuminta dia menelepon rumah
sakit dan taxi sambil aku berusaha menghubungi dokter kandunganku. Sayangnya
dokter kandungan langgananku itu tidak bisa menangani persalinanku karena
sedang berada di luar negeri. Kemudian kuhubungi dokter kandungan yang
menangani USG empat dimensiku, lagi-lagi tidak bisa karena juga sedang berada
di luar negeri menghadiri sebuah konferensi kedokteran. Akhirnya kutelepon saja
rumah sakit dimana aku ingin melahirkan dan meminta agar dicarikan dokter yang
kubutuhkan.
Sekitar 10 menit kemudian datanglah taxi yang
kami pesan. Aku berjalan agak tertatih-tatih keluar dari kamar menuju pintu
rumah kontrakan kami dalam kondisi selangkangan yang basah nan lengket karena
derasnya aliran air ketubanku. Tetangga sebelah rumah kontrakan kami yang
kebetulan belum tidur segera melihat kondisiku dan ia memastikan bahwa cairan
yang keluar itu memang betul air ketubanku, mengingat pengalamannya yang sudah
melahirkan tiga kali. Tidak banyak yang bisa dibawakan oleh suamiku, seperti
pakaian bayi dan tetek bengeknya meskipun semua sudah kami beli, sebab memang
waktu persalinanku belum lagi menjelang. Kami juga tidak berkeinginan
sedikitpun untuk menghubungi orangtua kami karena tak ingin membuat mereka
khawatir atau gelisah menunggu proses persalinanku.
Setibanya di UGD rumah sakit,
suamiku dengan sigap memanggil perawat dan meminta kursi roda untukku. Tak
terbayangkan betapa paniknya dia, sedangkan aku berusaha menata mentalku dalam
menghadapi persalinan yang hampir di depan mata. Perawat mendorongku masuk ke
ruang perawatan untuk menjalani beberapa tindakan, seperti pengecekan detak
jantung janinku, menggunting rambut kemaluanku dan memeriksa pembukaan jalan
lahir janinku. Tidak sedikitpun kurasakan kontraksi pada rahimku dan pembukaan
jalan lahir juga konstan, tidak ada kemajuan. Bayiku memang belum waktunya
lahir, namun karena air ketubanku sudah pecah dan pembukaan jalan lahir belum
terjadi, maka mulailah dipersiapkan proses persalinanku melalui operasi.
Kuingat jelas ketika kemudian aku dibawa ke ruang operasi dan sudah ada dokter
anestesi menunggu disana untuk membiusku. Dokter itu berusaha memberikan bius
lokal untukku, namun gagal setelah sekian kali berusaha mencari pembuluh nadiku
di punggung karena lemakku yang terlalu tebal katanya. Tak heran juga mengingat
bobotku naik 20kg selama hamil delapan bulan. Lantas ia meminta ijinku untuk
menyuntikkan bius total di selang infus. Sesungguhnya aku agak takut, mengingat
ada beberapa kejadian fatal pada ibu melahirkan yang menggunakan bius total.
Hanya karena Kuasa Tuhan saja, aku tidak merasa panik menghadapi itu semua.
Dalam keadaan yang sangat pasrah dan mencoba tenang, kutanyakan apakah aman
bagiku dan diiyakan olehnya, maka kubiarkan ia melakukan prosedur itu. Dan
begitu obat bius disuntikkan ke selang infus pada punggung tanganku, tidak
sampai sedetik kemudian kepalaku terasa amat berat dan kesadaranku hilang…
Saat kubuka mata, kudengar sayup-sayup suara
suamiku. Wajahnya terasa dekat dan seperti menatap padaku namun yang dapat
ditangkap dengan jelas oleh panca inderaku hanyalah suaranya dan bentuk
kepalanya yang seperti berbayang-bayang. Dia memberitahukan bahwa putra kami
sudah lahir dengan berat 2,4 kg. Masih banyak lagi yang dijelaskannya tapi
kepalaku masih terasa berat karena efek obat biusnya belum hilang sama sekali
sehingga kata-katanya tak begitu bisa kucerna. Setelah itu aku kembali tidur
dan terbangun dengan kepala yang terasa jauh lebih ringan barangkali sekitar 3
jam kemudian, saat aku sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Rupanya ketika aku
pertama kali sadar setelah operasi itu, aku masih berada di ruang pemulihan.
Dan aku mulai bisa merasakan perihnya jahitan bekas operasiku dini hari itu
begitu efek obat bius memudar sama sekali. Masih kuingat dengan jelas betapa
tertawa terbahak sedikit saja bahkan terasa menyiksa karena menarik otot
perutku yang mungkin berdekatan dengan luka operasi yang masih basah itu.
Setelah bayi kami lahir, barulah suamiku mengabari orangtua kami masing-masing
yang tentunya berbuah sedikit teguran dari ibu kami karena tidak diberitahu
dari awal. Yah, bagaimanapun juga, saking sayangnya kami kepada kedua orangtua,
tak kami biarkan mereka merasa resah jikalau harus menunggu kelahiran anak
kami..:)
Baru keesokan
harinya aku agak kuat untuk bangun dari tempat tidur dan berjalan perlahan
menuju ruang perawatan bayi kami yang lahir prematur, yaitu ruang NICU (Natal
Intensive Care Unit). Seperti sudah kuceritakan sebelumnya dalam tulisanku yang
ini : putra kami harus menginap di
inkubator selama seminggu lamanya setelah lahir sampai berat badannya mencapai
angka rata-rata normal (sekitar 2,5 kg). Ia boleh dijenguk hanya pada
jam-jam bezoek, oleh kedua orangtuanya sekalipun, mengingat kondisi
fisiknya yang amat rentan oleh virus. Sebelum masuk ke ruangannya, kami wajib
mengenakan baju steril dan sandal yang sudah disediakan disana serta mencuci
kedua tangan kami dengan cairan disinfektan. Untuk menyentuhnya, aku hanya bisa
memasukkan kedua tanganku melalui dua buah lubang di sisi inkubator tempat ia
dirawat. Inkubatornya dipasok dengan sinar ultraviolet berwarna ungu untuk
menghangatkan tubuhnya dan memperkuat livernya agar berkurang warna kuning pada
tubuhnya. Untuk melindungi matanya dari sinar ultraviolet, dipasangkan semacam
kain berbentuk kacamata untuk membingkai kedua matanya. Sesekali tubuhnya
bergerak dan ia menangis kencang karena lapar. Tubuhnya begitu mungil namun
melihatnya saja sudah bisa mengalahkan rasa sakit bekas operasi yang kurasakan
saat itu.
Bayi prematur akan mendapatkan kekuatan dan
daya tubuh lebih baik dari air susu ibunya. Saat menengoknya, aku juga berupaya
untuk menyusui anakku. Namun kondisinya yang lemah membuatnya kesulitan untuk
menyedot susu dengan kuat. Terpaksa kurelakan ia mengonsumsi susu formula demi
nutrisi yang dibutuhkannya. Payudaraku terasa seperti terus memproduksi, tapi
tanpa stimulus berupa sedotan kuat dari bayiku, air susuku hanya bisa merembes.
Sempat bisa kutampung sedikit sekali di botol dan dibawa suamiku ke rumah sakit
untuk diberikan kepada bayiku. Setelah itu, berbagai usaha kulakukan untuk
memperbanyak produksi dan memeras air susuku tapi seperti buntu meskipun
kurasakan payudaraku seperti bengkak karena air susunya tidak bisa dikeluarkan.
Akhirnya kurelakan susu formula sepenuhnya sebagai penyuplai nutrisi bagi
tumbuh kembang anakku setelah air susuku sudah berhenti menetes. Meski dari
berbagai literatur yang kubaca, dinyatakan bahwa tumbuh kembang bayi yang lahir
prematur akan lebih lambat daripada yang lahir normal dan juga kandungan
nutrisi dalam susu formula amatlah jauh berbeda kualitasnya dibandingkan dengan
air susu ibu, aku tidak begitu pikirkan karena yakin akan kehendak Tuhan.
Kelahiran dan kondisi semacam itu bukan mauku tapi sudah menjadi ketetapan
Tuhan, sehingga aku yakin bahwa Tuhan berkehendak yang terbaik bagi anak kami.
Beberapa resiko yang sempat diutarakan oleh dokter spesialis anak yang menangani
putra kami sedari lahirnya, antara lain adalah : gangguan paru-paru dan
gangguan penglihatan. Oleh karena itu, sampai dengan usia 6 bulan, ia wajib
untuk kontrol rutin ke dokter spesialis mata. Ketika oleh dokter dinyatakan
tidak ada gangguan pada penglihatannya di bulan keenam usianya, kami merasa
lega sekali. Dan semakin lama pertumbuhannya normal seperti anak-anak lain
seusianya sehingga menambah kebahagiaan kami.
Kalau ditanya apakah aku masih ingin hamil, akan
kujawab bahwa aku masih belum siap untuk itu. Apalagi suamiku, ia akan menjawab
cukup dengan satu anak saja. Namun ada keinginan dalam batinku untuk menambah
satu lagi anggota keluarga kami. Jikalau diperkenankan Tuhan, inginnya anak
perempuan dan aku ingin kehamilan keduaku nanti tidak lebih dari 40 tahun
usiaku. Begitulah harapan yang kusemai. Selebihnya, kupasrahkan kepada Sang
Maha Memberi
nanti kalo sudah sembuh coba rincian modal usaha bakso
BalasHapus